Gending-gending jawa kuno ditabuh dari Gamelan pada suatu siang yang terik. Dua ekor kuda hitam, lengkap dengan kostum berwarna mencolok tiba-tiba masuk ke area pentas. Mengikuti aba-aba sang pelatih, kuda jenis sandel memperagakan aksinya, ditengah kerumunan penonton yang sudah memadati tempat mentas sejak pagi hari. Dua kuda itu mengangguk-angguk sembari mengepak-ngepakkan kakinya mengikuti tabuhan gamelan. Selain menari, dua kuda itu juga menunjukkan aksinya, duduk dan berdiri dengan dua kaki.
Setelah gending pertama dan kedua selesai dibawakan, para pesinden mulai bernyanyi gending-gending Tari Gandrung. Tak lama kemudian, seorang gadis berkostum Gandrung Banyuwangi masuk ke area pentas. Sang Gandrung menari-nari, sesekali mengibaskan selendang merahnya ke arah kuda. Seperti layaknya manusia, dua ekor kuda itu terlihat kompak menari bersama Gandrung mengikuti tabuhan gamelan hingga selesai.
Ilustrasi diatas adalah diskripsi singkat bagaimana jalannya Kesenian Jaran Kencak Paju Gandrung, saat ditampilkan oleh Masyarakat Kelurahan Boyolangu, Kecamatan Giri, Minggu (21/10) lalu. Sesuai namanya, kesenian ini mengkolaborasikan kesenian Jaran Kencak dengan Tari Gandrung Banyuwangi.
Sekilas penampilan kesenian rakyat ini cukup memukau, karena memperagakan kelincahan kuda-kuda Sandel dan Tarian Gandrung yang cukup populer bagi masyarakat paling ujung timur Pulau Jawa ini. Bukan hanya di Boyolangu, setiap kali ada pentas kesenian ini memang tidak pernah sepi penonton.
Namun di tengah meriahnya sambutan masyarakat, Kesenian Jaran Kencak Paju Gandrung masih menyisakan kontroversi. Sebagian pihak menyayangkan perpaduan dua kesenian yang berbeda secara filosofi tersebut.
***
Dalam sejarah, Kesenian Jaran Kencak sebenarnya adalah kesenian asli Madura yang dipakai untuk bersenang-senang. Seiring penyebaran masyarakat Madura yang begitu besar di pulau Jawa, menjadikan kesenian Jaran Kencak juga mulai dikenal dan berkembang di Jawa Timur, termasuk di Banyuwangi.
Selain kemahiran menari, daya tarik kesenian Jaran Kencak adalah kostum kuda yang berwarna mencolok. Seperti kemul (selimut/pelana) berwarna kuning keemasan, mahkota atau Jamang bercorak bunga warna warni, kalung dada, dan lengkap dengan ulur di sepanjang punggung kuda.
Rugito, salah satu pemilik kesenian ini mengatakan, Jaran Kencak berarti kuda-kuda yang lincah menari mengikuti lagu.
“Yang dinamakan kencak itu kan cara memainkan kaki bergantian. Jadi kakinya harus tepat mengikuti gendang. Bila gong besar berbunyi tanda lagu selesai maka kuda akan berhenti dengan sendirinya” Jelas Rugito yang baru 5 tahunan ini menekuni Kesenian Jaran Kencak.
Rugito menceritakan, untuk mendapatkan kuda-kuda yang pandai menari memang membutuhkan latihan khusus. Satu kuda membutuhkan waktu sekitar 1 bulan untuk bisa lincah menari dari musik yang diperdengarkan dari tape.
Kuda yang dipakai untuk kesenian ini berjenis Sandel yang biasa diperoleh dari Sumbawa. Jenis Sandel ini, kata Rugito, dipilih karena memiliki bentuk fisik lebih tinggi dibanding kuda-kuda biasa.
Menurut Rugito, setidaknya ada 15 orang di Banyuwangi yang memiliki Kuda Sandel. Mereka membentuk komunitas dengan menggelar arisan. Bagi yang memperoleh arisan tersebut, maka diwajibkan menggelar Kesenian Tari Kencak. Dalam perkembangan selanjutnya, kata Rugito, Kesenian ini marak ditanggap untuk acara sunatan.
“Tadinya Jaran Kencak ini untuk ngarak sunatan. Jadi anak yang sunat dinaikkan ke punggung kuda lalu diarak keliling kampung”
Namun lambat laun, semakin sedikit orang yang mau menanggap Jaran Kencak. Karena tidak begitu menjanjikan lagi, sebagian dari pemilik Jaran Kencak ada yang menjual kudanya dan beralih ke profesi lain. Dari sepinya peminat inilah, kata Rugito, sekitar 1990 muncullah ide dari seseorang penekun Jaran Kencak bernama Ahmad Bajuri, untuk mengkolaborasikan Jaran Kencak dengan Tarian Gandrung.
Nama keseniannya pun dirubah menjadi Kesenian Jaran Kencak Paju Gandrung. Lagu-lagu yang dimainkan, akhirnya juga memakai lagu gandrung. Yakni, Seblang Lukinto, Podho Nonton, Pacu Gandrung, Seblang Sebuh, Sekar Jenang, Kembang Pepe, Suntring-suntring, dan Kembang Dirmo. Sejak dirintis pertama kalinya hingga sekarang, perpaduan Jaran Kencak dengan Tari Gandrung mendapat respon yang besar dari masyarakat.
Sang Pencipta kolaborasi, Ahmad Baijuri menuturkan, idenya menggabungkan dua kesenian ini adalah untuk menyemarakkan Kesenian Jaran Kencak supaya lebih diminati masyarakat Banyuwangi. Apalagi saat itu, Tari Gandrung masih cukup digemari dan sering ditanggap.
” Saya berharap, dengan memadukan Gandrung, Jaran Kencak lebih banyak ditonton orang,” Harap Baijuri, meski juga mengakui saat ini tanggapan mulai menurun.
***
Sebagian pihak memang menilai Kesenian ini adalah hasil akulturasi Kesenian Jaran Kencak dengan Gandrung Banyuwangi. Namun, ide memadukan dua kesenian ini disayangkan oleh sebagian pihak lainnya. Fatrah Abal, salah satu Budayawan Banyuwangi mengatakan, Kesenian Gandrung memiliki nilai sejarah kepahlawanan yang tinggi. Itu nampak dari Gending-gending Gandrung, yang apabila diterjemahkan berisi seruan semangat untuk masyarakat Banyuwangi setelah kalah melawan Penjajah Belanda dalam perang Bayu tahun 1771.
“Kalau gendhing-gendhing Gandrung diserap maknanya, arti Gandrung sendiri adalah mengharapkan. Pada zaman dulu, pencipta kesenian Gandrung mengharapkan masyarakat banyuwangi yang tersisa 5 ribu akibat perang, kembali bersemangat dan tetap tinggal di Banyuwangi. Barangkali saja kalau tidak ada gandrung, mungkin orang banyuwangi akan habis, karena mati atau pergi”, tutur Fatrah yang saat ini menyiapkan buku tentang Gendhing-gending Gandrung.”
Menurut Fatrah, perpaduan dua kesenian ini terlalu dipaksakan, sehingga dapat digolongkan sebagai penyimpangan. Apalagi motif utamanya, kata Fatrah, hanya untuk komersial, sehingga tidak memiliki makna berarti kecuali sekedar menjadi tontonan.
Namun, menurut Fatrah, baik buruknya kesenian ini tetap ia serahkan kepada masyarakat. Tugas para peggiat Budayalah, katanya, yang harus berperan untuk memberikan pemahaman tentang keberadaan Tarian Gandrung yang telah ditetapkan menjadi maskot Banyuwangi.
sumber http://ikaning.wordpress.com/2007/10/25/kesenian-jaran-kencak-paju-gandrung-antara-filosofi-dan-tuntutan-komersial/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar